Sabtu, 02 April 2011

Apakah itu Iman? (INSPIRASI DARI SEBUAH KISAH NYATA)

Beberapa tahun lalu, setiap hari Kamis, saya mengajar tentang Alkitab di Universitas California Selatan. Suatu waktu, setelah selesai mengajar, seorang wanita muda datang kepada saya. Saya bisa menebak, saat itu ia sedang marah.

Ia mengatakan kepada saya bahwa ia dibesarkan dalam keluarga yang saleh dan selama beberapa waktu, ia mengikuti gereja orangtuanya. Kemudian, serangkaian kemalangan menimpanya, sehingga ia "kehilangan imannya". Sekarang, ia tidak lagi bergereja.

Ia mengatakan kepada saya bahwa perpecahan terakhir antara dia dengan imannya yang terdahulu adalah waktu ia melemparkan Kitab Perjanjian Barunya yang sudah ia simpan di laci selama berbulan-bulan. Ini merupakan simbol tentang keputusan terakhirnya.

Ia datang untuk bertanya kepada saya, apakah iman itu? Tetapi saya mengembalikan pertanyaan itu kepadanya.

Ia menjawab, "Iman adalah percaya pada apa yang tidak dapat engkau ketahui."

Saya berkata, "Apakah engkau percaya kepada Bill Bright?"

Ia menjawab, "Aku tidak kenal dia -- bagaimana aku dapat mempercayainya?"

Saya katakan, "Tunggu dulu. Kau baru saja mengatakan bahwa iman adalah percaya pada apa yang tidak dapat kauketahui. Sekarang, engkau mengatakan bahwa engkau tidak dapat percaya pada orang yang tidak engkau kenal. Mana yang benar?"

Penjelasan wanita muda itu benar dalam hal kedua. Pengetahuan harus ada sebelum adanya iman. Iman adalah tanggapan atas kebenaran. Tujuan Alkitab adalah untuk membawa kita kepada kebenaran itu. Jikalau saya menanggapinya dengan iman, saya yakin itu disebabkan karena Roh Kudus sedang bekerja di dalam hidup saya.

Iman bukan sesuatu yang didasarkan pada kekosongan. Iman juga tidak diperoleh. Dalam Roma 10:17, Paulus menjelaskan bahwa "Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus." Saya mempercayai istri saya ketika saya mengawininya empat puluh tiga tahun yang lalu; dan bila Saudara bertanya pada saya, apakah saya mempercayainya secara mutlak, saya harus mengaku ya.

Saya telah hidup bersamanya selama puluhan tahun, dan saya telah mengetahui dari dekat bahwa dia bisa dipercaya. Karena didasarkan pada pengenalan, maka kepercayaan saya padanya total.

Hal ini pun berlaku waktu kita mengenal Allah. Semakin saya mengalami sesuatu di dalam Dia, bersandar pada-Nya, dan mengetahui bahwa Ia selalu menanggung beban saya—tidak peduli betapa beratnya beban yang saya serahkan pada-Nya—semakin saya mempercayai-Nya.

Iman harus selalu mengalami ujian. Beberapa sahabat dekat kami mempunyai anak yang mengidap kanker yang serius. Selama tiga bulan terakhir, mereka telah ditantang dan mengalami ujian yang luar biasa, dan mereka belum juga melampaui masalah mereka. Tetapi, di balik semua pergumulan mereka, ada iman yang besar dan keyakinan yang hebat bahwa Allah sanggup melakukan apa yang Ia katakan. Ia sanggup mendatangkan kebaikan dari keadaan apa pun.

Dalam Roma 4:11 disebutkan mengenai Abraham sebagai "bapa semua orang percaya", karena teladan yang diberikan dahulu tentang percaya kepada Allah. Waktu mengikuti pimpinan Tuhan ke negeri lain, dia "taat ... lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tuju" (Ibrani 11:8).

Baru-baru ini, saya membaca mengenai seorang pemimpin, yaitu orang yang mengetahui ke mana ia pergi. Saya segera membandingkan hal itu dengan Abraham yang pergi tanpa mengetahui tujuannya. Definisi kepemimpinan seperti itu merupakan satu contoh pemikiran duniawi—terpisah dari pemikiran Alkitab, sebagaimana iblis terpisah dari Allah.

Itu merupakan fakta tentang suatu bentuk keduniawian yang tidak kentara, yang merayap ke dalam pemikiran banyak orang Kristen, seperti ular yang merayap masuk ke taman Eden.

Sebaliknya, Alkitab menganjurkan iman kepada Allah yang kita kenal. Dialah pemimpin kita dan Ia mengajar kita untuk mengikuti-Nya dengan percaya. Dalam Roma 4:18-21, Paulus melukiskan tentang iman Abraham.

"Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya.... Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup."

Dalam usia seperti mereka, hamil benar-benar tidak mungkin. Tetapi, janji Allah melampaui segala keadaan mereka.

Iman tidak pernah menyangkali kenyataan, bagaimanapun buruknya. Tetapi, iman mengakui fakta yang lebih tinggi dan lebih berkuasa, yaitu tentang integritas dan janji-janji Allah. Abraham menghadapi apa yang secara manusiawi merupakan situasi tanpa harapan lagi—tetapi sebagaimana saya pernah mengingatkan salah seorang profesor seminari, "Tidak ada harapan bukan perkataan orang Kristen.

Perkataan itu tidak ada dalam kamus kita". Namun, bersama Allah selalu ada jalan untuk hidup. Paulus mengingatkan kita bahwa hakikat iman alkitabiah adalah yakin bahwa Allah sanggup melaksanakan apa yang Ia janjikan (lihat Efesus 3:20).

Kita perlu berpikir tentang iman dalam arti kualitasnya, bukan kuantitasnya. Iman bukan alat untuk jual beli, seperti mata uang, yang dihitung menurut nilainya. Kita cenderung berpikir bahwa bilamana kita mempunyai cukup iman, maka kita bisa "membeli" apa saja yang kita inginkan dari Allah. Tidak! Iman adalah kepercayaan mutlak—menyerahkan seluruh hidup kita kepada Allah.

Jangan sekali-kali, kita menyalahkan orang lain dengan mengatakan, "Wah, andaikan mereka mempunyai cukup iman ....", maka hal-hal tertentu itu akan tercapai. Beberapa tahun yang lalu, Kathryn Kuhlman yang banyak menyembuhkan orang, dalam satu wawancara televisi ditanya, mengapa tidak setiap orang yang datang kepadanya bisa disembuhkan.

Kathryn menjawab dengan cara yang indah sekali, "Allah itu Maha Kuasa untuk menyembuhkan, dan Dialah yang menyembuhkan beberapa orang dan tidak menyembuhkan yang lain. Tidak ada sesuatu yang lebih kejam daripada menyalahkan orang dengan mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai cukup iman untuk dapat disembuhkan. Itu semua tergantung kepada Allah."

Kita bertumbuh dalam iman waktu kita menggemakannya. Ingat, betapa sulitnya dahulu bagi Abraham dan Sara untuk mempercayai janji Allah. Tetapi melalui setiap pengalaman, waktu mereka melihat janji-Nya digenapi, iman mereka bertambah kuat. Kekuatan seperti itu datang hanya jikalau kita menggunakan iman dalam hidup kita.

"Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus." Semakin kita mengetahui Firman, maka semakin kita mengenal Yesus, dan iman kita akan menjadi semakin kuat.

(Richard Halverson)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar