100% Kisah Nyata
Pahitnya hidup sejak kecil telah menimpa hidup Joseph. Ayah yang harusnya jadi pelindung meninggalkannya demi wanita lain.
"Kami tinggal bersama di suatu gubuk yang sangat kecil terbuat dari daun rembia. Kalau malam hari kedinginan. Bahkan ranjang kami terbuat dari papan, tetapi papan yang tidak sebagus papan yang ada, yang biasanya," ujar Joseph membuka kesaksiannya.
Akibat kemiskinan, Joseph dan ibunya hanya bisa menyantap jagung untuk mengganjal perut mereka.
"Menghindari rasa bosan dan sebagainya, jagung itu kadang digiling, kadang ditumbuk, kadang beli beras seadanya untuk dicampurkan dengan jagung itu," kenang Joseph.
Bukan hanya tubuhnya yang menderita karena kemiskinan, bahkan jiwanya tersiksa karena perbuatan ayahnya. Lingkungan sekitar kerap meledeknya sebagai anak yatim, anak tanpa bapak. Tidak hanya itu, ia pun mendapat perlakuan yang tidak adil dari lingkungan sekolahnya. Pernah dalam satu kesempatan di sekolah, gurunya memukulnya dan dipegang lehernya sampai matanya putih.
Penderitaan itu bagai pil pahit yang harus ditelannya, bahkan sepasang seragam sekolah sekalipun tidak sanggup dibeli oleh ibunya. Dalam ketidakberdayaannya itu, ia harus menerima ketika celananya yang sobek harus ditambal berkali-kali. Rasa minder pun hinggap dalam dirinya. Sampai suatu ketika, ia pun mengajukan permohonan kepada ibunya untuk membeli celana baru. Tapi, memang kondisi ibunya yang saat itu serba berkekurangan, celana baru itu tidak pernah terwujud sampai ia menginjak remaja nanti.
Jauh dalam lubuh hati Joseph, tidak bisa menerima keadaannya. Rasa benci kepada ayahnya mulai menguasai hati Joseph. Sampai dewasa, kebencian itu terus membara. Dendam pada ayah, pahit hati pada semua orang yang telah menolaknya, dan juga kemiskinan merubah perilaku Joseph.
"Hari makin hari tambah frontal, tidak hanya pada mama bahkan dengan semua orang. Saya anak yang badung sekali, bandel sekali," ujarnya.
Akibat kenakalannya, Joseph pun harus menerima kemarahan dan tindakan yang keras dari ibunya. Namun, bukannya sadar atas hukuman yang diberikan sang Ibu, Joseph malah semakin membantah. Sampai pada suatu peristiwa yang semakin membuatnya marah kepada sang ibu,yakni ketika dirinya dianggap tidak berguna. Rasa sakit hati itulah yang dirasakannya ketika itu.
Kebencian dan dendam bergejolak dalam hati Joseph. Seorang ibu telah mengutuki anaknya sendiri bahkan perilakunya pun semakin berani dan kasar.
"Saya pulang dari sekolah itu sudah siang. Namun, kata mama "istirahat sedikit setelah itu kita pergi ke ladang' Tetapi, karena saya ngantuk dan capek, mama bangunkan untuk pergi ke ladang. Sudah tiga kali dibangunkan mama, saya tetap tidak indahkan," kisahnya.
Sikap Joseph yang terus bermalas-malasan membuat ibunya menjadi berang. Sang ibu pun mengambil sebuah ember berisi air dan menyiramnya ke tubuh Joseph. Kaget dengan apa yang baru saja diterima, ia pun mendorong dan menendang ibunya tanpa rasa bersalah. Sambil meneteskan air mata, sang ibu pun berlalu meninggalkannya pergi ke ladang seorang diri.
Kekesalan Joseph semakin menjadi-jadi saat dia mengetahui sapi yang digembalakannya dijual oleh ibunya. Dengan segera, ia pun mencari ibunya untuk meluapkan kemarahannya yang sudah terpendam sejak lama. Saat bertemu, perselisihan mulut berlangsung antara ibu-anak ini. Tidak hanya itu, saking sudah bisa mengontrol kemarahannya, pintu pun menjadi luapan emosi Joseph.
Bukannya takut dengan sikap kasar yang ditunjukkannya, sang ibu malah mengambil parang. Tahu dirinya dalam bahaya, Joseph pun berlari ke belakang rumah sambil dikejar sang ibu. Tidak diduga, ia menemukan sebuah bambu yang biasa digunakan untuk memikul air. Bambu inilah yang akhirnya dipukulkan kepada sang ibu yang sedang memegang parang. Ibunya pun terjatuh. Seketika itu juga ia pun mengambil langkah seribu.
Kata-kata kutuk pun kembali ia terima dari sang Ibu yang sedang dalam posisi terjatuh dan sambil menahan perih, kata berisi pengusiran pun keluar dari mulut ibunya tersebut.
Rasa sedih yang sangat dalam membuat Joseph meninggalkan mamanya seorang diri di tengah kemiskinan yang mereka alami.
"Rasa sayang dengan mama itu gak ada. Gak ada sama sekali. Dingin. Saya gak alami belaian dari seorang ibu, saya gak alami kasih sayang dari seorang ibu. Jadi, rasa empati dengan ibu itu gak ada sama sekali," aku Joseph.
Bertahun-tahun, Joseph merasakan hatinya begitu galau di Kupang. Joseph menemui seorang teman yang sebenarnya tidak begitu dekat dengannya.
"Waktu saya dalam keadaan seperti itu, lalu saya datangi beliau dan saya tanya, Paul, bisa tidak kamu cerita apa sih enaknya kamu ikut Tuhan? Anak ini mulai cerita panjang lebar, ikut Tuhan tuh seperti ini, seperti ini, seperti ini," katanya mengawali kisah pertobatannya.
Cerita itu mulai mempengaruhi hati Joseph sehingga Joseph menerima tawaran temannya untuk menyaksikan sebuah film. Tanpa memiliki firasat apa-apa, ia pun datang ke tempat temannya itu. Setelah serasa semuanya telah berkumpul, maka film pun diputar dan ternyata film yang ditontonnya saat itu adalah mengenai akhir zaman.
Kengerian mulai dirasakan hati Joseph ketika film itu berputar. Dia melihat di film itu bagaimana orang benar dalam anggapan manusia ternyata tidak masuk ke dalam surga. Sadar akan dosa-dosanya yang begitu besar, ia pun menjadi begitu ketakutan saat menonton. Kehidupan masa mendatang di neraka seperti sudah terasa saat itu oleh Joseph. Setelah film itu selesai, ia pun bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, rasa takut itu bukannya semakin menghilang tetapi semakin kuat terasa hingga akhirnya ia pun menangis. Kebobrokan hidupnya itulah yang membuatnya begitu bersedih ketika itu. Ia merasa bahwa hidupnya tidaklah berharga di mata Tuhan. Bila diibaratkan hidupnya dengan sesuatu, hidupnya saat itu ibarat sampah yang tidak satupun orang mau mendekatinya. Hingga akhirnya ia pun menemui temannya itu lagi, yakni Paul. Ia bertanya kepada Paul, apakah dirinya masih bisa menerima keselamatan dari Tuhan.
Tanpa diduga, Paul pun menjawab bahwa ia masih bisa menerima keselamatan itu, tetapi dengan syarat bahwa dirinya mengaku dosa pada hari itu juga dan percaya kepada Yesus.
Joseph pun mengakui semua kesalahan dan dosanya dan menerima Tuhan dalam hatinya.
"Setelah didoain, saya mengalami ada sesuatu yang lepas dari diri saya membuat saya itu seperti exciting, sebegitu semangat dengan hidup," lanjutnya.
Dan Joseph memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya menemui ibunya yang sudah lama ditinggalkannya. Setiba di rumah, ia pun dengan segera memeluk mamanya dan mamanya pun melakukan hal yang sama. Kata-kata permohonan maaf pun terus keluar dari mulutnya sebagai bukti permohonan maaf mendalam. Baginya, hari itu adalah hari dimana ia merasa bebas dan merasakan pelukan serta kasih dari seorang ibu yang sudah lama dirindukannya.
Hubungan yang retak diantara Joseph dan ibunya telah disatukan kembali bahkan Joseph telah mengampuni perbuatan ayahnya. Saat ini, Joseph telah bangkit dari kemiskinan dan hidup berkecukupan sebagai seorang dosen.
"Tuhan mau menerima saya apa adanya. Tidak melihat kebobrokanku, kenajisan dan kejijikan yang pernah aku buat di masa lampau. Tidak ada tandingannya, Yesus sangat luar biasa, Pribadi yang hebat dan luar biasa bagi saya," ujar Joseph mengakhiri kesaksiannya. (Kisah ini ditayangkan 15 November 2010 pada acara Solusi Life di O'Channel).
Sumber Kesaksian:
Joseph Bising
"Kami tinggal bersama di suatu gubuk yang sangat kecil terbuat dari daun rembia. Kalau malam hari kedinginan. Bahkan ranjang kami terbuat dari papan, tetapi papan yang tidak sebagus papan yang ada, yang biasanya," ujar Joseph membuka kesaksiannya.
Akibat kemiskinan, Joseph dan ibunya hanya bisa menyantap jagung untuk mengganjal perut mereka.
"Menghindari rasa bosan dan sebagainya, jagung itu kadang digiling, kadang ditumbuk, kadang beli beras seadanya untuk dicampurkan dengan jagung itu," kenang Joseph.
Bukan hanya tubuhnya yang menderita karena kemiskinan, bahkan jiwanya tersiksa karena perbuatan ayahnya. Lingkungan sekitar kerap meledeknya sebagai anak yatim, anak tanpa bapak. Tidak hanya itu, ia pun mendapat perlakuan yang tidak adil dari lingkungan sekolahnya. Pernah dalam satu kesempatan di sekolah, gurunya memukulnya dan dipegang lehernya sampai matanya putih.
Penderitaan itu bagai pil pahit yang harus ditelannya, bahkan sepasang seragam sekolah sekalipun tidak sanggup dibeli oleh ibunya. Dalam ketidakberdayaannya itu, ia harus menerima ketika celananya yang sobek harus ditambal berkali-kali. Rasa minder pun hinggap dalam dirinya. Sampai suatu ketika, ia pun mengajukan permohonan kepada ibunya untuk membeli celana baru. Tapi, memang kondisi ibunya yang saat itu serba berkekurangan, celana baru itu tidak pernah terwujud sampai ia menginjak remaja nanti.
Jauh dalam lubuh hati Joseph, tidak bisa menerima keadaannya. Rasa benci kepada ayahnya mulai menguasai hati Joseph. Sampai dewasa, kebencian itu terus membara. Dendam pada ayah, pahit hati pada semua orang yang telah menolaknya, dan juga kemiskinan merubah perilaku Joseph.
"Hari makin hari tambah frontal, tidak hanya pada mama bahkan dengan semua orang. Saya anak yang badung sekali, bandel sekali," ujarnya.
Akibat kenakalannya, Joseph pun harus menerima kemarahan dan tindakan yang keras dari ibunya. Namun, bukannya sadar atas hukuman yang diberikan sang Ibu, Joseph malah semakin membantah. Sampai pada suatu peristiwa yang semakin membuatnya marah kepada sang ibu,yakni ketika dirinya dianggap tidak berguna. Rasa sakit hati itulah yang dirasakannya ketika itu.
Kebencian dan dendam bergejolak dalam hati Joseph. Seorang ibu telah mengutuki anaknya sendiri bahkan perilakunya pun semakin berani dan kasar.
"Saya pulang dari sekolah itu sudah siang. Namun, kata mama "istirahat sedikit setelah itu kita pergi ke ladang' Tetapi, karena saya ngantuk dan capek, mama bangunkan untuk pergi ke ladang. Sudah tiga kali dibangunkan mama, saya tetap tidak indahkan," kisahnya.
Sikap Joseph yang terus bermalas-malasan membuat ibunya menjadi berang. Sang ibu pun mengambil sebuah ember berisi air dan menyiramnya ke tubuh Joseph. Kaget dengan apa yang baru saja diterima, ia pun mendorong dan menendang ibunya tanpa rasa bersalah. Sambil meneteskan air mata, sang ibu pun berlalu meninggalkannya pergi ke ladang seorang diri.
Kekesalan Joseph semakin menjadi-jadi saat dia mengetahui sapi yang digembalakannya dijual oleh ibunya. Dengan segera, ia pun mencari ibunya untuk meluapkan kemarahannya yang sudah terpendam sejak lama. Saat bertemu, perselisihan mulut berlangsung antara ibu-anak ini. Tidak hanya itu, saking sudah bisa mengontrol kemarahannya, pintu pun menjadi luapan emosi Joseph.
Bukannya takut dengan sikap kasar yang ditunjukkannya, sang ibu malah mengambil parang. Tahu dirinya dalam bahaya, Joseph pun berlari ke belakang rumah sambil dikejar sang ibu. Tidak diduga, ia menemukan sebuah bambu yang biasa digunakan untuk memikul air. Bambu inilah yang akhirnya dipukulkan kepada sang ibu yang sedang memegang parang. Ibunya pun terjatuh. Seketika itu juga ia pun mengambil langkah seribu.
Kata-kata kutuk pun kembali ia terima dari sang Ibu yang sedang dalam posisi terjatuh dan sambil menahan perih, kata berisi pengusiran pun keluar dari mulut ibunya tersebut.
Rasa sedih yang sangat dalam membuat Joseph meninggalkan mamanya seorang diri di tengah kemiskinan yang mereka alami.
"Rasa sayang dengan mama itu gak ada. Gak ada sama sekali. Dingin. Saya gak alami belaian dari seorang ibu, saya gak alami kasih sayang dari seorang ibu. Jadi, rasa empati dengan ibu itu gak ada sama sekali," aku Joseph.
Bertahun-tahun, Joseph merasakan hatinya begitu galau di Kupang. Joseph menemui seorang teman yang sebenarnya tidak begitu dekat dengannya.
"Waktu saya dalam keadaan seperti itu, lalu saya datangi beliau dan saya tanya, Paul, bisa tidak kamu cerita apa sih enaknya kamu ikut Tuhan? Anak ini mulai cerita panjang lebar, ikut Tuhan tuh seperti ini, seperti ini, seperti ini," katanya mengawali kisah pertobatannya.
Cerita itu mulai mempengaruhi hati Joseph sehingga Joseph menerima tawaran temannya untuk menyaksikan sebuah film. Tanpa memiliki firasat apa-apa, ia pun datang ke tempat temannya itu. Setelah serasa semuanya telah berkumpul, maka film pun diputar dan ternyata film yang ditontonnya saat itu adalah mengenai akhir zaman.
Kengerian mulai dirasakan hati Joseph ketika film itu berputar. Dia melihat di film itu bagaimana orang benar dalam anggapan manusia ternyata tidak masuk ke dalam surga. Sadar akan dosa-dosanya yang begitu besar, ia pun menjadi begitu ketakutan saat menonton. Kehidupan masa mendatang di neraka seperti sudah terasa saat itu oleh Joseph. Setelah film itu selesai, ia pun bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, rasa takut itu bukannya semakin menghilang tetapi semakin kuat terasa hingga akhirnya ia pun menangis. Kebobrokan hidupnya itulah yang membuatnya begitu bersedih ketika itu. Ia merasa bahwa hidupnya tidaklah berharga di mata Tuhan. Bila diibaratkan hidupnya dengan sesuatu, hidupnya saat itu ibarat sampah yang tidak satupun orang mau mendekatinya. Hingga akhirnya ia pun menemui temannya itu lagi, yakni Paul. Ia bertanya kepada Paul, apakah dirinya masih bisa menerima keselamatan dari Tuhan.
Tanpa diduga, Paul pun menjawab bahwa ia masih bisa menerima keselamatan itu, tetapi dengan syarat bahwa dirinya mengaku dosa pada hari itu juga dan percaya kepada Yesus.
Joseph pun mengakui semua kesalahan dan dosanya dan menerima Tuhan dalam hatinya.
"Setelah didoain, saya mengalami ada sesuatu yang lepas dari diri saya membuat saya itu seperti exciting, sebegitu semangat dengan hidup," lanjutnya.
Dan Joseph memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya menemui ibunya yang sudah lama ditinggalkannya. Setiba di rumah, ia pun dengan segera memeluk mamanya dan mamanya pun melakukan hal yang sama. Kata-kata permohonan maaf pun terus keluar dari mulutnya sebagai bukti permohonan maaf mendalam. Baginya, hari itu adalah hari dimana ia merasa bebas dan merasakan pelukan serta kasih dari seorang ibu yang sudah lama dirindukannya.
Hubungan yang retak diantara Joseph dan ibunya telah disatukan kembali bahkan Joseph telah mengampuni perbuatan ayahnya. Saat ini, Joseph telah bangkit dari kemiskinan dan hidup berkecukupan sebagai seorang dosen.
"Tuhan mau menerima saya apa adanya. Tidak melihat kebobrokanku, kenajisan dan kejijikan yang pernah aku buat di masa lampau. Tidak ada tandingannya, Yesus sangat luar biasa, Pribadi yang hebat dan luar biasa bagi saya," ujar Joseph mengakhiri kesaksiannya. (Kisah ini ditayangkan 15 November 2010 pada acara Solusi Life di O'Channel).
Sumber Kesaksian:
Joseph Bising
Tidak ada komentar:
Posting Komentar